Para aktivis Australia telah berlayar ke perairan Papua untuk menarik
perhatian pada kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusi di daerah itu.
Hari Jumat (13/9), mereka mengatakan telah menyelesaikan apa yang mereka
sebut sebagai sebuah "misi suci", yaitu secara simbolis menghubungkan
kembali masyarakat adat Papua dengan masyarakat Aborigin Australia,
dengan melibatkan para pemimpin adat setempat.
Para akstivis itu
yang tergabung dalam apa yang disebut "Freedom Flotila" meninggalkan
Australia bulan lalu dan menyeberang ke perairan Indonesia pada Kamis
malam tidak lama setelah angkatan laut Indonesia mengancam untuk
mengusir kapal mereka.
Kelompok tersebut mengatakan, mereka
telah menyelesaikan misi mereka yaitu mempersembakan air suci dari mata
air Danau Eyre di Australia tengah dan abu dari tenda sejumlah
perwakilan Aborigin di seluruh negeri kepada para pemimpin Papua Barat.
"Menghindari Angkatan Laut Indonesia, dua kapal kecil bertemu di dekat
perbatasan Australia-Indonesia untuk seremoni menyambung kembali
masyarakat adat Australia dan Papua Barat," kata kelompok itu di
situsnya.
"Pertukaran budaya para tetua adat diadakan secara
rahasia karena ada ancaman dari para pejabat pemerintah Indonesia dan
pejabat militer yang menyatakan bahwa Angkatan Laut dan Angkatan Udara
akan 'mengambil tindakan' terhadap protes damai itu.
Juru Bicara
Angkatan Laut Indonesia, Untung Suropati, mengatakan kepada kantor
berita AFP pada Kamis bahwa Angkatan Laut hanya akan menggunakan
kekuatan jika terancam oleh sebuah kapal bersenjata dan, jika kelompok
itu tidak bersenjata, mereka hanya akan dicegah untuk menginjakkan
kakinya di bumi Indonesia.
Sekitar 20 aktivis terlibat dalam
armada itu, termasuk tetua Aborigin "Paman" Kevin Buzzacott yang akan
bertemu dengan para pemimpin Papua Barat sebagai simbol dukungan untuk
perjuangan Papua Barat. Para aktivis itu berharap bisa berlabuh di
Merauke dan mengadakan upacara untuk meningkatkan kesadaran tentang apa
yang mereka katakan sebagai pelanggaran hak asasi luas di Papua oleh
pemerintah Indonesia.
Mereka telah berupaya untuk berkomunikasi
dengan para pejabat Indonesia. Koordintor protes itu, Izzy Brown,
mengatakan pihaknya telah melakukan panggilan telepon melalaui telepon
satelit dan radio ke militer Indonesia tetapi gagal.
Kapal mereka masih menunggu di tengah laut sambil berharap militer Indonesia membolehkan mereka berlabuh di Merauke.
Armada
kelompok itu meninggalkan kota Cairns di Australia utara pada 17
Agustus dengan tiga kapal. Namun jumlah kapalnya menjadi tinggal satu
setelah dua kapal mengalami masalah mesin.
0 komentar:
Posting Komentar