Biak-Dari ratusan bahasa yang ada di tanah Papua, bahasa Dusner menjadi
bahasa yang terancam mengalami kepunahan. Bukan tanpa sebab, kini bahasa
tersebut hanya menyisakan tiga orang penutur berusia tua di teluk
Wondama, Papua Barat.
"Tinggal tiga 3 orang penutur, yang paling
muda 65 tahun yang lainnya di atas itu. Yang saya dapat 2 narasumber
menyampaikan. Satu nenek Emma Somisa dan Enos Yoweni satu lagi tidak
tinggal di satu kampung berbeda," ungkap Direktur Pusat Penelitian
Bahasa dan Budaya Papua, Andreas J Deda dalam sambungan telepon dengan
merdeka.com, Minggu (5/5).
Dari penlitiannya bersama dengan
institusi asing dan juga universitas Papua, pengaruh sosial budaya
menjadi penyebab rentannya bahasa ini punah. Terlebih lagi dominasi dan
pengaruh luar yang membuat semakin hilangnya penutur bahasa Dusner.
"Pertama,
secara lokal ada persaingan wilayah dilihat ada persaingan kedaerahan
atau orientasi hidup termasuk kelompok bahasa papua Austerinesia
kelompok Biak. Kedua, di tahun 1920-an sudah dilarang oleh guru Injil.
Orang di sana tidak boleh menggunakan Dusner karena bahasa itu termasuk
bahasa setan karena bahasa itu digunakan untuk bicara dengan nenek
moyang," jelasnya lagi.
Tak banyak yang bisa dilakukan Andreas
untuk melestarikan bahasa leluhurnya ini. Seakan tak mampu membendung
pengaruh modernisme dan dominasi suku besar, tim peneliti bahasa
mengembalikan pilihan kepada masyarakat Wondama. Ingin kembali
menuturkan bahasa ini atau tidak.
"Yang kami lakukan sekarang
membuat kamusnya kemudian dari profesor dari luar, rektor kami menulis
tentang grammar-nya. Sekarang kita kembalikan ke masyarakat tergantung
ke masyarakat," tutupnya.
Bahasa Dusner melengkapi dua bahasa di
Papua lainnya yang telah punah. Bahasa tersebut adalah bahasa Mansin dan
Tandinia yang telah hilang pada tahun 1970-an.
0 komentar:
Posting Komentar