Herman Dogopia, belum lahir ketika seluruh wilayah Papua dan
Papua Barat dijajah Belanda hingga t1963. Tetapi dari ceritera orangtua
dan kakeknya, Belanda bukanlah bangsa penjajah bagi rakyat Papua,
Mengapa? Karena Belanda, dalam memperlakukan rakyat Papua selalu melakukan pendekatan dengan cara kasih dan persaudaraan.
Belanda,
di dalam membangun Irian Barat - nama seluruh Papua ketika itu,
melakukan dengan perencanaan jelas. Setiap kota memiliki peruntukan. Ada
kota pendidikan, kota dagang, kota wisata, kota budaya, dan kota
pemerintahan.
Dan yang mengesankan, ratusan tahun Belanda menjajah
Papua. selama itu tak satu pun peluru yang mereka gunakan untuk
membunuh rakyat Papua. Pelanggaran HAM oleh Belanda hanyalah karena
penjajah itu tidak mempersiapkan atau mengizinkan wilayah itu menjadi
negara merdeka.
Pelanggaran HAM memang belum menjadi sebuah
istilah populer di era Belanda. Namun menghadapi rakyat Papua yang
melakukan pelanggaran hukum yang ditetapkan pemerintah Belanda, selalu
diselesaikan melalui hukum.
Konkritnya walaupun ada rakyat yang
melakukan pelanggaran, seberat apapun kategori pelanggarannya, solusi
hukum tidak dengan eksekusi mati.
Ketika Herman masih berbentuk
seorang anak "ingusan" baru mulai belajar abjad dan bahasa Indonesia, ia
mengalami periode – yang orangtua dan kakeknya melakukan perlawanan
terhadap pemerintah Indonesia.
Pada 1969, ketika Papua baru enam
tahun kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, sejumlah laki-laki rakyat Papua
masuk ke hutan. Mereka tidak puas dan mempertanyakan manfaat dari Pepera
(Penentuan Pendapat Rakyat) yang dibentuk oleh PBB dan hasilnya
menguntungkan Indonesia.
Menghadapi 'pemberontakan' itu, TNI yang
dipimpin Brigjen Sarwo Eddhie Wibowo (kini almarhum), menerjunkan
pasukan TNI ke sejumlah tempat yang menentang Pepera.
Yang
mengesankan sehingga tak bisa dilupakan Herman Dogopio, anak buah
almarhum Sarwo Eddhie itu, tidak pernah bertindak kasar apalagi membunuh
sekalipun yang mereka temui orang Papua yang membenci Indonesia.
Keadaannya
sangat berbeda dengan situasi saat ini. Tak ada lagi pendekatan seperti
yang dilakukan oleh Belanda maupun pasukan anak buah Sarwo Eddhie.
Jenderal almarhum ini, merupakan mertua dari Presiden RI periode
2004-2014.
Perubahan 180 derajat tersebut, kini semakin membuat rakyat Papua ingin cepat-cepat lepas dari NKRI.
Selama
50 tahun rakyat Papua menjadi bagian dari jutaan penduduk Indonesia,
sudah tak terhitung nyawa anak Papua yang melayang akibat pembunuhan
oleh eksekutor Indonesia yang nota bene merupakan bangsanya sendiri.
Anak bangsa dibunuh oleh bangsa sendiri.
"Hampir
tak satu persoalan yang tidak diselesaikan dengan cara kekerasan,
termasuk pembunuhan. Sehinga menjadi pertanyaan di kalangan kami, apa
arti kemerdekaan dalam bingkai NKRI", keluh Herman Dogopia, anggota
Kaukus Papua dalam perbincangan dengan INILAH.COM di Jakarta baru-baru
ini.
Perbincangan dipicu oleh adanya perkembangan politik terbaru yang kental dengan keinginan memisahkan Papua dari NKRI.
OPM
(Organisasi Papua Merdeka) pertengahan April lalu mendapat izin dari
pemerintah kota Oxford di Inggeris untuk memiliki perwakilannya di kota
tersebut. Pembukaan kantor perwakilan itu secara de facto merupakan
pengakuan Inggris atas OPM.
Menurut Herman, Kaukus Papua langsung
mersepons dan mengundang pejabat terkait untuk membahas masa depan Papua
dalam bingkai NKRI. Tetapi hasil pembicaraan atau diskusi dengan Kaukus
Papua, tidak sama dengan penerapannya di lapangan .
Herman,
ataupun para anggota Kaukus, yakin sekalipun secara diplomatis Inggeris
selalu menyatakan tetap mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua.
Tetapi, menurut dia Inggris bahkan negara manapun yang memahami
perlakuan Indonesia atas rakyat Papua akan selalu berpihak kepada
gerakan anti Indonesia.
Herman yang sehari-hari bekerja di Jakarta
bahkan sudah menjadi anggota salah satu partai peserta Pemilu 2014
tanpa ragu menegaskan dengan agresifitas OPM, kemerdekaan Papua,
terpisah dari NKRI tinggal soal waktu. Kemerdekaan itu sudah ditunggu
sebab pada hakekatnya seluruh rakyat Papua saat ini sudah menjadi
pendukung OPM.
Sejujurnya, tutur Herman Dogopio, gerakan apapun
yang dilakukan pentolan OPM saat ini dan ke depan, akan selalu didukung
secara oleh semua rakyat Papua. Banyak yang diam-diam, tetapi seperti
pepatah tua, diam itu emas
(silent is golden). Begitulah sejatinya sikap masyarakat Papua dewasa ini.
"Saya
berani bertaruh, sekalipun dia pejabat, mendapatkan perlakuan istimewa
dari pemerintah Jakarta, tetapi darah dan jantung mereka sudah berubah
menjadi anggota atau pendukung OPM", katanya.
Alasannya sangat
sederhana. Pemerintah Indonesia yang mengendalikan Papua secara remote
dari Jakarta, tidak pernah mau melakukan dialog sehingga tidak paham
atas keadaan sebenarnya.
Ia selalu terkenang dengan almarhum Gus
Dur. Presiden ke-4 RI itu, bersedia membuka dialog dengan pemimpin OPM,
termasuk merubah nama daerah itu dari Irian Jaya menjadi Papua.
Pertanyaan
yang membayangi masyarakat Papua, mengapa dengan GAM (di Aceh)
pemerintah bersedia membuka dialog, tapi dengan OPM, tidak bersedia?
Herman
mengakui eskalasi atas keinginan untuk merdeka sempat meredup. Tapi
kemudian membara lagi setelah pemimpin OPM, Theys Eluay dibunuh atau
terbunuh. Pada 11 Nopember 2001 ia ditemukan tewas di dalam mobilnya
yang berada di luar kota Jayapura.
Keinginan menjadi merdeka, semakin membara terutama dipicu oleh pernyataan Presiden SBY tahun lalu.
Menurut
Herman, sudah menjadi rahasia umum di masyarakat Papua bahwa Presiden
SBY tidak mau berdialog lagi dengan rakyat Papua. Entah apa alasannya
tapi yang pasti SBY sendiri sudah menyatakan setuju Papua merdeka.
Syaratnya: nanti setelah SBY tidak lagi menjadi Presiden RI. pemerintahannya.
"Kalian
boleh merdeka, asalkan jangan di era pemerintahan saya", kata Herman
mengutip pernyataan Presiden SBY ketika bertemu dengan para pemimpin
agama dari Papua, 11 Desember 2011.
Pernyataan yang tidak
disampaikan kepada media itu kemudian secara berantai diceritakan oleh
para pemimpin gereja Papua yang menemui SBY di Cikeas di ujung tahun
2011 tersebut.
Pernyataan Presiden SBY cukup mengejutkan sekalipun
ada di antara tokoh Papua masih bertanya-tanya, apakah SBY tidak sedang
salah ucap.
Herman juga termasuk yang mempertanyakan kebijakan
Presiden SBY yang membentuk UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan
Papua Barat) yang dipimpin pensiunan jenderal Bambang Darmono (bukan
Darsono - red).
"Apa tugas dan tujuannya kalau UP4B tidak diberikan dana operasi dan personel yang memadai?" bertanya Herman.
Herman
juga heran, mengapa pemimpin UP4B tetap diam seribu bahasa? Apakah unit
kerja itu memang dibentuk hanya untuk menampung sahabat Presiden SBY
agar punya status dan kegiatan?
Dengan fakta di atas - sebagai
anggota Kaukus Papua, Herman berkesimpulan bahwa persoalan Papua dalam
NKRI saat ini memang sengaja dibiarkan oleh rezim Yudhoyono.
Ia
masih bisa tersenyum sekalipun dengan senyum kecut, sebab berbagai
masalah yang dibiarkan oleh rezim saat ini, ternyata bukan hanya
persoalan Papua.
Sebuah pembiaran yang berisiko. Tapi apa mau dikata. "Don't Cry For Me Papua .” [mor]